Saum dan Sikap Tawadhu

  • Al-Hijaz
  • Alya Lutfia Muhtar
  • 13
...

Dengan contoh yang sederhana orangtua kita menganalogikan amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya. Baju yang kita kenakan, sampai kapanpun tidak akan pernah dicuci jika dalam pikirannya punya aggapan bahwa bajunya bersih. Demikian pula manusia, jika dalam hati dan pikirannya merasa dirinya bersih tidak punya dosa, mungkin, sampai kapanpun tidak akan pernah bertobat.

Penulis: H. Muhtar Gandaatmaja

Dengan contoh yang sederhana orangtua kita menganalogikan amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya. Baju yang kita kenakan, sampai kapanpun tidak akan pernah dicuci jika dalam pikirannya punya aggapan bahwa bajunya bersih. Demikian pula manusia, jika dalam hati dan pikirannya merasa dirinya bersih tidak punya dosa, mungkin, sampai kapanpun tidak akan pernah bertobat.

Merasa, atau “rasa karumasaan”, kata orang Sunda, ”roso rumongso”, kata orang Jawa, adalah pengakuan yang tulus bahwa dirinya tidak steril dari dosa, banyak kesalahan dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sedangkan tahu diri merupakan kesadaran diri terhadap martabat dan posisinya: siapa saya, sebagai apa dan punya kehebatan apa? Kedua sikap ini, yaitu merasa dan tahu diri, merupakan gerbang kesadaran memasuki pintu tobat. Dalam perspektif sufi, tobat sebagai persinggahan awal menuju persinggahan kedua, ketiga dan seterusnya yang harus dilalui--(menurut pendapat lain, mungkin tahapan-tahapannya berbeda) --seperti zuhud, faqr, sabar, syukur, ridha dan tawakal, hingga sampai tujuan mencapai ridho dan rahmat Allah Swt.

Dalam terminologi akhlak, merasa dan tahu diri disebut “tawadhu” yaitu rendah hati. Menurut DR. Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya “Tradisi Pesantren”, tawadhu punya arti lebih luas, bukan sekedar rendah hati, tapi adanya pengakuan hati yang tulus terhadap kelebihan orang lain. Dirinya sendiri diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa; banyak dosa, tidak bersih; miskin ilmu dan pengalaman. Yang tinggi ilmunya, baik akhlaknya, saleh, dan jujur bukan saya atau kami, tapi dia dan mereka.

Al-Qur’an surat al-Kahfi: 110, menuturkan bahwa Rasul Saw yang mulia, menyejajarkan dirinya dengan kita,: “…sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu….” Dari sisi kemanusiaannya, Rasul Saw memang sama dengan manusia pada umumnya, yaitu butuh makan, minum, tidur, beristri, beranak; bisa tertawa juga bisa menangis. Walaupun demikian, posisi, martabat dan tugasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah, pasti sangat berbeda jauh dengan kita. Kalimat “aku hanya manusia seperti kamu,” pada dasarnya sebagai bukti betapa tingginya akhlak Rasul. Di saat itu beliau sedang memperlihatkan keteladanannya kepada kita akan kemuliaan akhlaknya sebagai orang yang rendah hati . Sebab pada penggalan ayat berikutnya ada kalimat yang membedakan posisinya dengan kita, yaitu kaimat“...yang telah menerima wahyu…” Siapa yang menerima wahyu kalau bukan orang-orang suci dan pilihan Allah? Ke-geer-an (baca:tak tahu diri) kalau menyamakan Rasul dengan kita dalam segala hal. Bukankah para filosofpun mengatakan bahwa “semakin banyak tahu makin tidak tahu!”

Begitulah sikap rendah hati orang berilmu. Tidak menampakkan kedalaman ilmunya. Ketika ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa, sesungguhnya dia tidak bodoh, tapi menutupi keluasan ilmunya dengan budi peketinya. Orang berilmu itu, katanya, seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Buah dari keluasan ilmunya membekas dalam keseharianya. Sikapnya bersahaja, “handap asor jeung someah” (rendah hati dan ramah). Tutur bahasanya baik, bicara seperlunya, terjaga lisannya agar sedapat mungkin tidak ada orang yang terluka karena kata-katanya. Walaupun serba tahu, tapi tidak sok tahu.

Banyak ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kita “ujub” pada diri sendiri.: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu” (Q.S. Asy-Syu’aro: 215). Dalam Qur’an Surat An-Najm: 32, lebih jelas, Allah melarang kita mengaku bersih. “…maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa.”. Rasulullah saw bersabda: “ Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya: bertawadlulah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.” (H.R. Muslim).

Rasulullah saw menyatakan bahwa orang tawadlu akan dimulyakan Allah dan orang yang menganggap diri baik akan dihinakan. “Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seorang yang memaafkan melainkan kemulyaan. Dan tiada orang yang tawadlu karena Allah melainkan dimulyakan oleh-Nya.” (H.R. Muslim). “Layak sekali bagi Allah, tiada sesuatu di dunia ini yang akan menyombongkan diri melainkan direndahkan oleh-Nya.” (H.R. Bukhori).

Kini, kita berada di bulan agung dan mulia, bulan suci ramadlan. Bulan Umat Islam melaksanakan saum. Saum (bahasa Arab) populer disebut puasa (bahasa Sansekerta), bahasa Indonesianya berarti menahan diri. Menahan diri tidak makan, minum dan melakukan hubungan suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa dalam pengertian seperti ini, menurut Imam Ghozali disebut puasa awam, puasa pada umumnya. Buat orang dewasa, puasa bukan hanya sekedar urusan makan minum. Pemaknaanya harus bergeser ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu memuasakan seluruh raga kita: panca indra, kaki, tangan, mulut, penciuman dan pendengaran dari dosa dan maksiat. Setelah lulus dari tahap ini, melangkah ke tangga berikutnya, memuasakan ruhaniah dari “amrodlul qulub”, penyakit hati, seperti iri, dengki, suudlon, ujub, sombong, takabur, menggap diri lebih baik, lebih suci, bersih dan orang lain lebih buruk.

Dalam Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 12, Allah menegaskan bahwa seluruh manusia akan dihinakan-Nya, kecuali orang yang berhubungan baik dengan Allah dan manusia. Orang yang taat ibadah dan memelihara silaturahmi tidak termasuk orang yang akan dihinakan-Nya. Maka, kalau ada pertanyaan apakah ibadah-ibadah kita, termasuk puasa, diterima Allah atau tidak? Jawabannya, tergantung kepada apakah ada perubahan dan peningkatan kearah yang positif kepada Allah dan manusia atau tidak? Ketika ditanya tentang haji, apakah haji mabrur itu? Rasul saw menjawab: “amaluhu ba’dahu khoirum min qoblihi.” Amal setelah haji lebih baik dibanding sebelumnya. Jadi, ukuran keberhasilan ibadah kita, bukan pada fisik material, tapi apakah hubungan kita dengan Allah dan manusia lebih baik atau lebih buruk?

Hubungan baik dengan Allah, hablum minallah (ibadah) modalnya, iman, ikhlas, amal yang sesuai dengan syari’at dan tadlarru (menghinakan diri dihadapan-Nya). Hubungan baik dengan sesama manusia, hablum minannas (muamalah/silaturahmi), modalnya kesejajaran, kecuali dibedakan dengan iman dan taqwa (Q.S. Al-Hujurat: 13); saling hormat menghormati dan tawadlu (rendah hati). Tadarru dan tawadlu merupakan akhlak mulia sebagai buah dari amal ibadah kita, termasuk puasa. Wallahu a’lam!

Penulis:

Pembimbing ibadah haji dan umrah al-hijaz


Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR